Fenomena kriminalisasi terhadap guru yang tengah marak di berbagai daerah mendapat sorotan tajam dari praktisi hukum, Rivaldy Yogaswara, S.H. Ia menilai, banyak kasus yang menjerat guru justru muncul karena kesalahan cara pandang dalam menilai tindakan mendidik di ruang kelas.
“Kita sedang menghadapi krisis penghormatan terhadap profesi guru. Banyak tindakan mendidik justru dilihat dengan kacamata pidana, bukan dengan pendekatan pedagogis (bersifat mendidik),” ujar Rivaldy saat dimintai tanggapan, Selasa (4/11).
Menurutnya, fenomena di mana guru dilaporkan ke polisi hanya karena menegur atau mendisiplinkan murid menunjukkan adanya erosi moral dalam sistem sosial dan hukum di Indonesia. Rivaldy menegaskan, tugas guru adalah membentuk karakter, bukan sekadar mengajar pengetahuan, sehingga perlu adanya ruang kewenangan yang dilindungi oleh hukum.
“Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah jelas memberikan jaminan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan profesinya. Namun, di lapangan, banyak aparat penegak hukum yang gagal membedakan mana tindakan mendidik dan mana yang benar-benar melanggar hukum,” tambahnya.
Sebagai advokat, Rivaldy menilai bahwa penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam menangani laporan yang melibatkan guru. Ia mengusulkan agar ada mekanisme penilaian khusus sebelum laporan semacam itu naik ke tahap penyidikan pidana.
“Tidak semua persoalan di sekolah harus langsung dibawa ke ranah pidana. Negara seharusnya menyediakan mekanisme mediasi pendidikan terlebih dahulu, agar tidak ada kriminalisasi terhadap guru yang sebenarnya hanya menjalankan tanggung jawab profesionalnya,” ujarnya.
Rivaldy juga menyoroti peran orang tua dan media sosial yang kerap memperkeruh suasana. Ia menilai, masyarakat kini terlalu mudah memviralkan persoalan di sekolah tanpa memahami konteks sebenarnya.
“Sering kali, masalah sederhana dibawa ke media sosial, lalu viral, kemudian menjadi tekanan bagi aparat untuk segera bertindak. Padahal, tidak semua yang viral itu benar. Yang paling dirugikan adalah guru, yang akhirnya kehilangan wibawa dan rasa aman dalam mendidik,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa jika fenomena ini terus berlanjut, dunia pendidikan Indonesia akan kehilangan ruh moralitas dan keteladanan. Guru, kata Rivaldy, bisa saja enggan menegur murid, dan pendidikan akan kehilangan arah pembentukan karakter.
“Kalau setiap teguran bisa dilaporkan ke polisi, siapa yang mau mendidik dengan tegas? Kita bisa mencetak generasi pintar, tapi tanpa akhlak. Itulah tanda bahaya yang sedang kita hadapi,” tegasnya.
Di akhir wawancara, Rivaldy menegaskan bahwa menghormati guru adalah ukuran kedewasaan bangsa. Menurutnya, jika negara gagal melindungi guru, maka keadilan yang ditegakkan di ruang sidang pun akan kehilangan makna.
“Guru adalah penjaga akal dan nurani bangsa. Jika mereka terus diperlakukan dengan intimidasi dan kriminalisasi, maka kita sedang menyaksikan pelan-pelan runtuhnya peradaban itu sendiri,” pungkas Rivaldy. (San1)
